April 8, 2013



Habis sudah. 
Baru malam-malam ini aku rindu teriakan, lelucon, bentakan, sapaan, lambaian tangan, tawa, pelototan, tepukan bahu, ejekan, lengosan mereka semua, yang seperti menguap selepas hujan. Sekarang cuma bisa mencerap sisa rasa dari perayaan minggu kemarin. Dari sana rekaman makin memutar mundur tanpa bisa berhenti. Ternyata aku baru sadar: sepanjang empat setengah tahun ke belakang adalah satu perayaan utuh. Perayaan tanpa habis yang manis dan pahitnya sama-sama berharga; yang sedihnya semua rasa baru bisa kuingat ketika ramainya sendiri telah selesai. Ketika hening datang saat pintu rumah kututup. Ketika pulang.



Terkadang aku lupa ada; kadang lain aku ada di mana-mana. Aku selalu bahagia jadi tali cadangan di pojok ruangan. Saya, yang pusing sendiri memikirkan bagaimana kamu yang tidak bisa tertawa bersama elo yang pernah membuat benci maneh yang menjelekkan mereka, bisa saya rangkul bahunya. Aing yang rasanya selalu berjalan di belakang, yang tidak berani memandang mata lawan bicaranya kalau melucu. Gua yang banyak dengki. 
Tapi di hari lain gedung ini mengingatkan: ini bukan tentang aku. Jauh sepele, ini cuma tentang bonggol pohon yang mirip singkong. Cuma tentang pameran kecil-kecilan karya seniman anak bawang. Cuma siraman air terasi ke sekujur badan yang tidak hilang dua minggu. Anak tangga di kantin sempit yang lebih sering ditindih pantat daripada kaki. Kursi panjang yang selalu pindah posisi. Studio bau resin yang sering kebanjiran. Ruang asam yang penuh bercak mirip kotoran cicak. Tumpukan keramik pecah. Lukisan jelek di sepanjang jalan menuju jembatan. Sayup-sayup teriakan kebobolan dan stik PS duapuluhribuan yang dibanting (yang aku tidak tahu apa menariknya). Deretan loker-loker kecil yang berujung di mushola bau kaki. Bendera hitam lusuh yang masih saja dikibar-kibarkan, bikin baru lagi kek. Rapat-rapat dibawah lampu temaram yang hasilnya hanya lapar Dwilingga atau Gisin. Derap barisan sepatu bot kulit sintetis dari Pasar Tegalega yang bikin jantung junior berhenti. Air terjun yang bisa jatuh kapan saja dari atas terpal biru. Baligo Pasar Senin buatan sendiri. Lapangan rugby yang haram diinjak rumputnya. Anjing kampung yang jumlah pacarnya menyamai jumlah bayinya. Malam kelulusan yang malah dibintangi penyanyi dangdut kampung. Lambaian pada punggung-punggung yang menjauh dari vista di depan Galeri..... 
Sangat banyak yang gedung ini ceritakan, tapi semuanya hanya remeh yang mudah dilupa.

Tapi entah kenapa: ketika jubah toga sibuk berfoto di sasana kemarin, ketika riuh sorak sorai di luar pintu ributnya seperti hujan, ketika perayaanku mencapai ujung yang telah lama diantisipasi, ketika pintu dibuka dan cahaya masuk; wajah-wajah di depanku semuanya kabur dan tidak ada yang lebih aku rindukan daripada hal-hal sepele itu. Malah itu yang hangatnya tidak ingin lepas. Mereka yang kukenal sepanjang seperlima umurku semuanya hadir untuk menjabat tanganku, menyodorkan buket bunga di lenganku, memelukku, tapi yang benar-benar ingin kupeluk malah waktu-waktu remeh yang terlupakan, ketika jabat tangan masih hanya berarti sampai besok daripada sampai nanti.
Pemandangan di depan pintu sasana berhenti bergerak. Aku rindu rumah lama kami.
Tidak pernah aku sepatah hati sekarang. 



Padahal, pulang hanyalah bersinggah, pulang menjadi berarti jika kita tahu akan pergi suatu waktu nanti. Mungkin begitu pula dengan persinggahan di lapangan abu-abu ini: barulah kita rindu pulang dan bertengger, saat kita benar-benar akan terbang dari helipad kotor itu.



No comments: