April 22, 2013

It was right when the tilted mountainous roads shifted my perception of gravity, and all the far-gleaming city lights in front of us started to float up, drifting higher and higher above us.

April 8, 2013



Habis sudah. 
Baru malam-malam ini aku rindu teriakan, lelucon, bentakan, sapaan, lambaian tangan, tawa, pelototan, tepukan bahu, ejekan, lengosan mereka semua, yang seperti menguap selepas hujan. Sekarang cuma bisa mencerap sisa rasa dari perayaan minggu kemarin. Dari sana rekaman makin memutar mundur tanpa bisa berhenti. Ternyata aku baru sadar: sepanjang empat setengah tahun ke belakang adalah satu perayaan utuh. Perayaan tanpa habis yang manis dan pahitnya sama-sama berharga; yang sedihnya semua rasa baru bisa kuingat ketika ramainya sendiri telah selesai. Ketika hening datang saat pintu rumah kututup. Ketika pulang.



Terkadang aku lupa ada; kadang lain aku ada di mana-mana. Aku selalu bahagia jadi tali cadangan di pojok ruangan. Saya, yang pusing sendiri memikirkan bagaimana kamu yang tidak bisa tertawa bersama elo yang pernah membuat benci maneh yang menjelekkan mereka, bisa saya rangkul bahunya. Aing yang rasanya selalu berjalan di belakang, yang tidak berani memandang mata lawan bicaranya kalau melucu. Gua yang banyak dengki. 
Tapi di hari lain gedung ini mengingatkan: ini bukan tentang aku. Jauh sepele, ini cuma tentang bonggol pohon yang mirip singkong. Cuma tentang pameran kecil-kecilan karya seniman anak bawang. Cuma siraman air terasi ke sekujur badan yang tidak hilang dua minggu. Anak tangga di kantin sempit yang lebih sering ditindih pantat daripada kaki. Kursi panjang yang selalu pindah posisi. Studio bau resin yang sering kebanjiran. Ruang asam yang penuh bercak mirip kotoran cicak. Tumpukan keramik pecah. Lukisan jelek di sepanjang jalan menuju jembatan. Sayup-sayup teriakan kebobolan dan stik PS duapuluhribuan yang dibanting (yang aku tidak tahu apa menariknya). Deretan loker-loker kecil yang berujung di mushola bau kaki. Bendera hitam lusuh yang masih saja dikibar-kibarkan, bikin baru lagi kek. Rapat-rapat dibawah lampu temaram yang hasilnya hanya lapar Dwilingga atau Gisin. Derap barisan sepatu bot kulit sintetis dari Pasar Tegalega yang bikin jantung junior berhenti. Air terjun yang bisa jatuh kapan saja dari atas terpal biru. Baligo Pasar Senin buatan sendiri. Lapangan rugby yang haram diinjak rumputnya. Anjing kampung yang jumlah pacarnya menyamai jumlah bayinya. Malam kelulusan yang malah dibintangi penyanyi dangdut kampung. Lambaian pada punggung-punggung yang menjauh dari vista di depan Galeri..... 
Sangat banyak yang gedung ini ceritakan, tapi semuanya hanya remeh yang mudah dilupa.

Tapi entah kenapa: ketika jubah toga sibuk berfoto di sasana kemarin, ketika riuh sorak sorai di luar pintu ributnya seperti hujan, ketika perayaanku mencapai ujung yang telah lama diantisipasi, ketika pintu dibuka dan cahaya masuk; wajah-wajah di depanku semuanya kabur dan tidak ada yang lebih aku rindukan daripada hal-hal sepele itu. Malah itu yang hangatnya tidak ingin lepas. Mereka yang kukenal sepanjang seperlima umurku semuanya hadir untuk menjabat tanganku, menyodorkan buket bunga di lenganku, memelukku, tapi yang benar-benar ingin kupeluk malah waktu-waktu remeh yang terlupakan, ketika jabat tangan masih hanya berarti sampai besok daripada sampai nanti.
Pemandangan di depan pintu sasana berhenti bergerak. Aku rindu rumah lama kami.
Tidak pernah aku sepatah hati sekarang. 



Padahal, pulang hanyalah bersinggah, pulang menjadi berarti jika kita tahu akan pergi suatu waktu nanti. Mungkin begitu pula dengan persinggahan di lapangan abu-abu ini: barulah kita rindu pulang dan bertengger, saat kita benar-benar akan terbang dari helipad kotor itu.



April 7, 2013

festival

masih baru jejak kaki

di tanah-kerikil-pasir abu dengan tumpukan rumput kering dan kotoran kucing itu,
begitu pula lecet tumit dari sepatu lamanya

pagi ini tidak berkabut, namun seruak sinar dari langit menipiskan pandangan

dan seperti koran yang setiap hari datang dan dibuang: haknya atas waktu terus berganti, detik demi detik, 
dengan kemenangan tipis yang semakin tidak terlihat bedanya

telinganya pekak, justru karena hening yang seperti tak mau habis;

dengan kaus dan celana yang bukan miliknya, ia hanya punya napas untuk dipelihara
naik dan turun, naik dan turun.

"Melihatlah ke bawah, ke jengkal selanjutnya yang akan engkau pijak. Selanjutnya lagi, dan selanjutnya lagi. Dan selanjutnya terus hingga bulir keringat yang terjun membuat bola matamu letih. Hirup saripati pagi ini dalam-dalam sampai kau meledakkan syukur yang tak tertahan. Tanggalkan beban yang sudah seharusnya kau tinggalkan. Angin akan bergantian menyentuh wajahmu, seakan kau adalah tembok suci yang dielu-elukan pecintamu, seakan terpaan tipis ini ingin menarikmu untuk terus tidak mati. 


"Lamat-lamat napasmu akan kabur dari tubuh, seluruh sendimu akan bergemeretak menangis pedih, urat ototmu terkejang panas. Berterimakasihlah akan itu; sadarlah bahwa semua sakit adalah milikmu. Estafetkan lelahmu pada engkau yang lain. Berlarilah! Berlarilah untuk perih ini sampai kau menjentikkan pikiran bahwa menjadi hidup lebih menyakitkan daripada sebaliknya. Sadarlah beban terbesarmu: kau memanggul dirimu sendiri. Sadar itulah yang membebaskanmu.

"Melompatlah sesekali saat kau tahu tanah tidak lagi penting dipijak. Berharaplah kau Ikarus yang tahu kau bakal jatuh, runtuh dengan tulang segala remuk ke atas tanah yang kau rindu."

ia tersungkur, tersusul jauh oleh napas yang sedari tadi mengejar

terbujur, ia bisikkan sang Joker: "sedetik lalu aku mengecap Ledakan Kehidupan."
Bagiku, komunikasi adalah obat penawar, pengental darah untuk semua luka yang telah atau tiba-tiba ada. Namun keduanya, luka dan penawarnya, adalah sebuah proses yang terbuka; yang akan selalu berlomba membuka dan menutup kembali. Proses ini tidak akan ringan. Kadang, sobekan luka harus dikoyak lebar sebelum penawar dapat masuk dan mengobati dari dalam. Kadang luka menyembuh sendiri, kadang dibiarkan lupa. Banyak waktu, penawar ini hanya plasebo semata yang tidak andil menyembuhkan apa-apa. Banyak waktu kecut air asin bergantian menyamar menjadi penawar: malah menyobek luka lebih dalam dan perih. Banyak waktu lain kita malah tidak merelakan sakit untuk sedikit membuka luka agar sembuh.

Bagiku, komunikasi selalu akan menyakitkan. Ia adalah sebuah usaha bebal yang tidak pernah tahu akan berhasil seperti apa sampai akhirnya aku berani menoleh ke arah gurat lukaku lagi. Beberapa kali aku akan berhenti percaya dengan apapun yang ditawarkan obat ini, sampai nanti perih menjalar, dan aku akan tergopoh mengemis kepada siapapun. Beberapa kali, aku akan mengantungi banyak obat tanpa tahu luka mana yang sudah waktunya disembuhkan. Namun ada pula waktunya ia menusuk sakit yang tepat. Aku, kamu, tahu rasanya: manis akan datang dari dada, merayap laun-laun ke seluruh arah. Semua indra bergembira; tulang-tulang yang merangkaimu akan menyala. Ya, komunikasi adalah berbagi luka. Menyobek kulit bersama. Menanggalkan lapis demi lapis pakaian hingga kamu menyadari ketiadaan atas semua yang kamu rasa miliki, hingga yang tersisa hanya malu yang tumpah ruah. Jika, kemudian setelah aku dan kamu selesai menempelkan luka, dan menemukan penawar di dalam semburat darah dari denyut nadi masing-masing, kita dapat mengacuhkan (atau bahkan, menghirup dan menertawakan) malu satu sama lain, maka luka bisa dibayar.


Semua rasa mungkin teramplifikasi. Sakit mungkin selamanya, malu mungkin lebih perih dari penggal, manis mungkin tidak habis seumur hidup. Bagiku komunikasi adalah harapan terus menerus, juluran tangan untuk mengisap saripati serta konfirmasi rasa atas yang sebelumnya terasa tidak mungkin terkatakan (dan tentu tidak akan pernah selesai terkatakan). Bagimu dan bagi mereka, aku belum sepenuhnya tahu.