kalau nenek masih ada, saya janji tidak akan makan keripik kulit miliknya diam-diam lagi.
February 15, 2009
kebelet posting
Ah, memang hanya oatmeal ini yang paling enak.
Bukan oatmeal biasa. Kalian boleh mengatainya havermut pahit atau bubur gandum hambar atau apa, terserah. Ini oatmeal-ku. Kudapan soreku. Well, bukan hanya aku. Ini oatmeal aku dan Fazza. Setidaknya dulu.
Tidak, Fazza tidak meninggalkan aku dan oatmeal kami berdua. Mungkin belum, aku tidak tahu. Tapi Fazza selalu ada, bahkan oatmeal soreku selalu kusantap disampingnya. Sesekali kusuapi dia walaupun seringkali dimuntahkan kembali. Fazza tetap tinggal, ia hanya tertidur sesaat. Kuharap.
Betapa Fazza masih sesegar dirinya ketika pertama kali aku tertarik padanya. Dengan manis ia mendatangiku yang duduk sendiri di cafe sore itu.
“Oatmeal?”
Aku melongo. Ia tersenyum.
Pahit, jawabku waktu itu. Hasil terbaik yang bisa kusiapkan dari serangan tak terduga macam itu.
“Itu pikiran awam. Saya buat sendiri..”
Setelah itu magis rasanya. Kami punya banyak kesamaan daan banyak hal untuk dibicarakan (dan aku berani sumpah oatmeal-nya gurih sekali). Kami berjanji untuk bertemu lagi, dan dari sanalah aku mulai rutin menanti; Sabtu sore dengan Fazza, tak penting lagi dimana tempatnya, yang krusial bagiku hanyalah ia dan oatmealnya.
Kami mulai saling terbuka, tidak butuh banyak waktu untuk tahu ia adalah seorang pemanjat tebing yang handal, walaupun sedang vakum karena cideranya. Bahasa Portugis-nya sangat fasih, karena ia sempat tinggal beberapa tahun di Brazil, yang dengan sangat kebetulan adalah tempat impianku untuk bekerja sebagai atase kedutaan, yang saat ini ilmunya masih sedang kupelajari. Ia juga jago memasak, satu keterampilan yang turun temurun wajib untuk dikuasai dalam keluargaku. Ya, tidak lama juga untuk kami saling menyadari, kami saling suka.
Air panas, susu, sedikit taburan parmesan, almond, irisan tipis pisang, dan oatmeal instan. Dipanaskan di microwave. Selesai. Aku buatkan Fazza juga, dengan keju ekstra favoritnya. Oke, sore yang cukup indah untuk menghabiskan kudapan bersamanya.
“Hai. Aku buatkan kamu, nih. Sudah lumayan lama, kan, Fay. Buatanku sudah lebih enak darimu.”
Aku dekatkan mangkuk oatmeal-ku pada hidungnya.
“Aku buka jendelanya, ya, Fay. Jahat aku kalau bikin kamu melewatkan senja semanis ini. Oh ya, aku tadi download lagu All I Am yang kamu minta dulu. Sudah ada di iPod-ku.” Aku tersenyum dan mulai memutar musiknya. “For old times’ sake.”
Kulahap oatmealku.
Awalnya aku tidak yakin kalau Fazza baik buatku. Aku tidak selalu bisa melanggar norma; beda dengan dia yang meninggalkan jabatan Head Researcher di universitas ternama hanya demi memanjat tebing atau dia yang – bayangkan – meninggalkan Brazil demi melihat pabrik gandum yang memproduksi oatmeal favoritnya. Hasilnya adalah debat panjang di suatu pagi dingin di villa-nya di daerah Lembang, Bandung.
“Aku bukannya melanggar norma, Pril.”
“Fazza, apapun namanya. Itu bukan sesuatu yang bisa sembarang orang dengan mudah ikuti.”
“Kamu bukan sembarang orang.”
“Tapi toh, aku tidak yakin bisa.”
“Aku yakin April dan Fazza bisa tinggal bersama.”
“Itu dia, Fay, tetap saja aku banyak takutnya. Aku takut orang memandang kita gimana, aku takut orangtuaku tidak setuju, aku takut mengganggumu..aku takut mengganggu kuliahku dan...”
Kalian harus lihat bagaimana caranya ia tersenyum, membuyarkan rangkaian pertahanan kata-kataku, dan menjawabnya hanya dengan satu kecupan hangat. Aku memeluknya erat diatas kap mobilnya.
Hancurlah raguku, Fazza telah memenangkan semua bentengku, dan aku senang karenanya.
Kami turun ke Bandung dan membeli oatmeal dalam jumlah besar untuk disimpan di rumah kami berdua sore harinya.
Sejak tinggal bersama Fazza, semua orang dapat melihat betapa cepatnya aku berubah; lama-kelamaan aku makin mendekati peranku sebagai kekasih Fazza. Dan aku menyukainya. Ia tidak protes, malah cenderung senang kalau aku melewatkan mandi dua hari, aku mulai mencintai memanjat tebing, kami mulai bereksperimen gila di dapur; omelet oatmeal, oatmeal kukus, oatmeal krim jamur dan 27 modifikasi lainnya, yang foto hasilnya kami pajang di sekeliling ruang makan; walaupun tidak semuanya tampak seperti makanan. Aku telah melakukan berbagai hal gila diluar apa yang bisa aku bayangkan bersama Fazza, dan aku menikmati setiap menitnya.
“Lho? Ada kamu, Pril. Sudah lama?”
Reya, sepupu Fazza. Semoga dia tidak melihat tumpahan bubur gandum dibalik karpet; aku hampir menumpahkan semuanya saking kagetnya aku karena kedatangannya.
“Baru, kok, Rey. Tadi aku numpang masak oatmeal, ya, buat Fazza juga, kok.”
Reya hanya senyum sambil lalu dan masuk melihat keadaan Fazza.
“Sudah aku ganti bajunya, Rey.”
Ya, Reya, yang walaupun bukan termasuk sepupu dekat Fazza, cukup dekat dengannya. Bahkan Reya telah mengenalnya jauh lebih lama dariku. Ia yang paling mengerti Fazza yang jarang terbuka pada sembarang orang; ia yang membuat batasan-batasan keras bila Fazza mulai bertingkah keluar jalur. Itulah Reya.
Mentari kulihat semakin turun sembari memerhatikan Fazza.
“Rey, aku nggak bisa lama. Ada yoga. Kamu nggak ada jadwal lagi, ‘kan?”
“Oh, ya, ini Jumat, ya. Yaa, nggak apa-apa Pril, ‘kan memang giliran aku tinggal.”
“Maaf, ya, Rey, nanti aku bawakan jus leci lagi, deh.” Kulebarkan senyumku. “Bye.”
Aku keluar dan berjalan menuju mobil, setengah melirik ke jendela kamar Fazza dan samar kulihat Reya mengusap rambut Fazza.
Dalam perjalanan, kuputar berulang-ulang playlist aku dan Fazza dalam mobil; lagu kami berdua tidak punya aturan, yang penting kami suka. Kebanyakan lagu lama. Sambil menatap akhir senja dibalik siluet kendaraan yang bertumpuk di jalanan, diantara alunan Groovy Kind of Love-nya Phil Collins, aku kembali menerawang.
Oatmeal.
Pernah kutanyakan begini pada Fazza: “Kenapa harus oatmeal, Fay?”
Awalnya kupikir pertanyaanku mendadak berubah retoris.
“Gurih, sehat, apa yang salah? ‘Kan baik juga buat jantung.”
Aku tersenyum padanya, yang kira-kira berarti, ting-tong, jawaban anda salah.
Fazza balik tersenyum.
“I simply just need someone to eat those with.”
Ting-tong. Jawaban diterima. Tidak beralasan dan sangat tidak dewasa, tapi aku terima.
wow absurd! ini draft tugas cerpen saya waktu SMA. baru ketemu file-nya tadi. dan akhirnya ga pernah beres. cheap.
Bukan oatmeal biasa. Kalian boleh mengatainya havermut pahit atau bubur gandum hambar atau apa, terserah. Ini oatmeal-ku. Kudapan soreku. Well, bukan hanya aku. Ini oatmeal aku dan Fazza. Setidaknya dulu.
Tidak, Fazza tidak meninggalkan aku dan oatmeal kami berdua. Mungkin belum, aku tidak tahu. Tapi Fazza selalu ada, bahkan oatmeal soreku selalu kusantap disampingnya. Sesekali kusuapi dia walaupun seringkali dimuntahkan kembali. Fazza tetap tinggal, ia hanya tertidur sesaat. Kuharap.
Betapa Fazza masih sesegar dirinya ketika pertama kali aku tertarik padanya. Dengan manis ia mendatangiku yang duduk sendiri di cafe sore itu.
“Oatmeal?”
Aku melongo. Ia tersenyum.
Pahit, jawabku waktu itu. Hasil terbaik yang bisa kusiapkan dari serangan tak terduga macam itu.
“Itu pikiran awam. Saya buat sendiri..”
Setelah itu magis rasanya. Kami punya banyak kesamaan daan banyak hal untuk dibicarakan (dan aku berani sumpah oatmeal-nya gurih sekali). Kami berjanji untuk bertemu lagi, dan dari sanalah aku mulai rutin menanti; Sabtu sore dengan Fazza, tak penting lagi dimana tempatnya, yang krusial bagiku hanyalah ia dan oatmealnya.
Kami mulai saling terbuka, tidak butuh banyak waktu untuk tahu ia adalah seorang pemanjat tebing yang handal, walaupun sedang vakum karena cideranya. Bahasa Portugis-nya sangat fasih, karena ia sempat tinggal beberapa tahun di Brazil, yang dengan sangat kebetulan adalah tempat impianku untuk bekerja sebagai atase kedutaan, yang saat ini ilmunya masih sedang kupelajari. Ia juga jago memasak, satu keterampilan yang turun temurun wajib untuk dikuasai dalam keluargaku. Ya, tidak lama juga untuk kami saling menyadari, kami saling suka.
Air panas, susu, sedikit taburan parmesan, almond, irisan tipis pisang, dan oatmeal instan. Dipanaskan di microwave. Selesai. Aku buatkan Fazza juga, dengan keju ekstra favoritnya. Oke, sore yang cukup indah untuk menghabiskan kudapan bersamanya.
“Hai. Aku buatkan kamu, nih. Sudah lumayan lama, kan, Fay. Buatanku sudah lebih enak darimu.”
Aku dekatkan mangkuk oatmeal-ku pada hidungnya.
“Aku buka jendelanya, ya, Fay. Jahat aku kalau bikin kamu melewatkan senja semanis ini. Oh ya, aku tadi download lagu All I Am yang kamu minta dulu. Sudah ada di iPod-ku.” Aku tersenyum dan mulai memutar musiknya. “For old times’ sake.”
Kulahap oatmealku.
Awalnya aku tidak yakin kalau Fazza baik buatku. Aku tidak selalu bisa melanggar norma; beda dengan dia yang meninggalkan jabatan Head Researcher di universitas ternama hanya demi memanjat tebing atau dia yang – bayangkan – meninggalkan Brazil demi melihat pabrik gandum yang memproduksi oatmeal favoritnya. Hasilnya adalah debat panjang di suatu pagi dingin di villa-nya di daerah Lembang, Bandung.
“Aku bukannya melanggar norma, Pril.”
“Fazza, apapun namanya. Itu bukan sesuatu yang bisa sembarang orang dengan mudah ikuti.”
“Kamu bukan sembarang orang.”
“Tapi toh, aku tidak yakin bisa.”
“Aku yakin April dan Fazza bisa tinggal bersama.”
“Itu dia, Fay, tetap saja aku banyak takutnya. Aku takut orang memandang kita gimana, aku takut orangtuaku tidak setuju, aku takut mengganggumu..aku takut mengganggu kuliahku dan...”
Kalian harus lihat bagaimana caranya ia tersenyum, membuyarkan rangkaian pertahanan kata-kataku, dan menjawabnya hanya dengan satu kecupan hangat. Aku memeluknya erat diatas kap mobilnya.
Hancurlah raguku, Fazza telah memenangkan semua bentengku, dan aku senang karenanya.
Kami turun ke Bandung dan membeli oatmeal dalam jumlah besar untuk disimpan di rumah kami berdua sore harinya.
Sejak tinggal bersama Fazza, semua orang dapat melihat betapa cepatnya aku berubah; lama-kelamaan aku makin mendekati peranku sebagai kekasih Fazza. Dan aku menyukainya. Ia tidak protes, malah cenderung senang kalau aku melewatkan mandi dua hari, aku mulai mencintai memanjat tebing, kami mulai bereksperimen gila di dapur; omelet oatmeal, oatmeal kukus, oatmeal krim jamur dan 27 modifikasi lainnya, yang foto hasilnya kami pajang di sekeliling ruang makan; walaupun tidak semuanya tampak seperti makanan. Aku telah melakukan berbagai hal gila diluar apa yang bisa aku bayangkan bersama Fazza, dan aku menikmati setiap menitnya.
“Lho? Ada kamu, Pril. Sudah lama?”
Reya, sepupu Fazza. Semoga dia tidak melihat tumpahan bubur gandum dibalik karpet; aku hampir menumpahkan semuanya saking kagetnya aku karena kedatangannya.
“Baru, kok, Rey. Tadi aku numpang masak oatmeal, ya, buat Fazza juga, kok.”
Reya hanya senyum sambil lalu dan masuk melihat keadaan Fazza.
“Sudah aku ganti bajunya, Rey.”
Ya, Reya, yang walaupun bukan termasuk sepupu dekat Fazza, cukup dekat dengannya. Bahkan Reya telah mengenalnya jauh lebih lama dariku. Ia yang paling mengerti Fazza yang jarang terbuka pada sembarang orang; ia yang membuat batasan-batasan keras bila Fazza mulai bertingkah keluar jalur. Itulah Reya.
Mentari kulihat semakin turun sembari memerhatikan Fazza.
“Rey, aku nggak bisa lama. Ada yoga. Kamu nggak ada jadwal lagi, ‘kan?”
“Oh, ya, ini Jumat, ya. Yaa, nggak apa-apa Pril, ‘kan memang giliran aku tinggal.”
“Maaf, ya, Rey, nanti aku bawakan jus leci lagi, deh.” Kulebarkan senyumku. “Bye.”
Aku keluar dan berjalan menuju mobil, setengah melirik ke jendela kamar Fazza dan samar kulihat Reya mengusap rambut Fazza.
Dalam perjalanan, kuputar berulang-ulang playlist aku dan Fazza dalam mobil; lagu kami berdua tidak punya aturan, yang penting kami suka. Kebanyakan lagu lama. Sambil menatap akhir senja dibalik siluet kendaraan yang bertumpuk di jalanan, diantara alunan Groovy Kind of Love-nya Phil Collins, aku kembali menerawang.
Oatmeal.
Pernah kutanyakan begini pada Fazza: “Kenapa harus oatmeal, Fay?”
Awalnya kupikir pertanyaanku mendadak berubah retoris.
“Gurih, sehat, apa yang salah? ‘Kan baik juga buat jantung.”
Aku tersenyum padanya, yang kira-kira berarti, ting-tong, jawaban anda salah.
Fazza balik tersenyum.
“I simply just need someone to eat those with.”
Ting-tong. Jawaban diterima. Tidak beralasan dan sangat tidak dewasa, tapi aku terima.
wow absurd! ini draft tugas cerpen saya waktu SMA. baru ketemu file-nya tadi. dan akhirnya ga pernah beres. cheap.
February 8, 2009
terawang pagi
i remember, woken up as a 4 years old boy in a blue sunday morning, by some old Phil Collins tunes my father played throughout the house
i remember, woke up as a 7 years old boy earlier than usual, turned on the tv finding that was a very silent, soothing morning
i remember, woke up as a 13 years old boy late for school, prepared everything in such a hurry but still couldn't stand to stop and enjoyed the sunny morning on my way
i remember, woke up as a 17 years old guy, if it's an appropriate predicate, on an uncomfortable-open platform in my university in a cold morning covered with glues all over my hands, after working all night on my faculty's property for graduation
i thought, i remember it all clearly
Subscribe to:
Posts (Atom)