November 29, 2009

01.11.48
keping recehan saya jatuh. seorang tua yang menenteng helm membantu memungutkan dari samping, namun saya malah sibuk menderu pacu setelahnya karena barisan di belakang juga sibuk melempar klaksonnya. saya tidak pula sempat tersenyum, padahal di antara sumpek ruangan parkir itu ia masih berbaik hati. apa refleks saya pada sosial telah berangkat dingin dan keji tanpa sadar? semoga kota ini punya lebih banyak tua sepertinya daripada saya-saya ini.
beberapa keping kembali terjatuh.

01.18.21

saya mengejar sebuah garis terang membubung dari tanah, naik turun memotong remang. mungkin pertanda sebuah perayaan? di samping mereka seorang anak tertidur dengan ayahnya mengipasi di atas dipan tua, di depan mereka sebuah sungai menangis karena kotanya lupa padanya.
saya memutar arah. cahaya sorot yang mengarung langit kota
itu telah melihat semuanya, ia ikut meringis di atas denting-denting gelas pesta yang ramai.
semua polusi cahaya yang mahal itu mencekik langit kota saya jadi ungu.


01.38.58
berbelok kemudian di bawah rengkuh pepohonan. melewati pelataran sirkus kota yang esok pagi akan terjejal kepentingan-kepentingan luar biasa banyaknya. tertabur kepingan daun kuning, wajarkah ibu alam ini merontok di musim yang basah? apa mereka telah berangkat lelah dengan keapatisan anak-anaknya? mungkin mereka meraung-raung di sana, jangan belah aku, jangan kotori nafasku.
anak-anakmu hanya sedang lupa kau ibu mereka..


01.44.01

delapan puluh kilometer per jam, di sela gurat-gurat bopeng jalan yang makin membahayakan sebuah kelontong modern yang
mencoba menghangatkan namun beku, berdiri. melewati bayangan rak-rak makanan kaleng dan bungkusan yang identik yang tidak mengenyangkan hati. semua lampu, tembok, ubin pucat memangkas ramah-tamah dalam pertukaran kebutuhan yang dulu hangat, yang saya kira akan selalu kuat mengakar di hati kota saya.
ah, bangunan itu sendiri kesepian. dingin.


01.52.11

memasuki portal, deretan palem bernyanyi. seorang pedagang menutup lapaknya, mencuci peralatannya di ember yang bocor, menggulung terpal birunya. puaskah ia akan hari ini? di antara jutaan kendaraan mahal yang melintasi sudut matanya, di antara ratusan jam ia menunggui lapaknya, banggakah ia dengan perannya di akrobat akbar urban ini?

bahkan kemudian, dekat di sampingnya masih ramai terlihat sebuah jamuan angkuh.

02.04.28

deru saya melonggar, semuanya timpang: gelap, sepi, tapi jauh lebih hangat daripada hingar-bingar benderang kota paling indah. semua sudut di sini fasih bercerita, tentang saya, tentang semua milik dan pemilik saya. semuanya merangkul jujur.

beberapa ngengat menjajali cahaya.


sedikit berbisik, assalamualaikum. hening..

November 15, 2009

bayangkan, hanya bayangkan. dini hari yang menggigil sendu, anda duduk dan suara berdesit terdengar perlahan. sedikit melirik jendela yang dari tadi terbuka dan di luar, semua bergerak mundur. mundur, mundur. terus hingga makin cepat. anda sadar kemudian anda sedang melaju. entah otak anda, mata anda, kamar anda, rumah anda, mimpi anda, atau dimensi anda; tapi anda melaju. anda senang. anda diam di jendela, pemandangan terus mundur hingga anda pangling. anda tidak tahu tempat-tempat ini sebelumnya. tiang listrik yang kesepian... rumah-rumah yang saling bersahabat... langit hitam yang membungkus, mengharukan... teriakan kereta api bobrok dua gerbong, jess, jess bunyinya dan anda ikuti iramanya. lama. anda tersenyum.
jess, jess.
jess, jess.
hilang. sepi lagi. kemudian gantinya muncul hangat. hangat yang menusuk di kuduk namun merangkul akrab. ini bunyi derai seperti laut. setelah itu semua di luar perlahan melambat, lambat...

anda keluar menginjak pasir yang sama banyaknya seperti bintang-bintang. anda berdiri lama dan laut mendera kaki anda. hangat. anda menutup mata. leher anda disapu gigil tapi anda tersenyum. hangat. jess, jess. suara ombak.
selesai.

November 14, 2009

kok saya malah picik dengan yang saya pikir ada di bawah, yang saya tidak tahu di baliknya, yang padahal kalau memang saya di atas bukannya saya turun dan membuat tangga

November 5, 2009

bukannya seharusnya malu makan di rumah asing tanpa permisi? bukannya sepatutnya sungkan menerobos kerumunan orang yang berbincang? apa bukan menunggu tuan rumah mengundang duduk, pembincang mengajak beropini?